A.
KOLONIALISME BELANDA
karakter kolonialisme spanyol-portugis
berbeda dengan karakter kolonialisme Belanda, Inggris, Perancis. Hal ini karena
kapitalisme yang melahirkan politik-politik kolonial tersebut di atas berbeda
baik kelahiran maupun wataknya.
Dari sejarah perkembangan indonesia,
terdapat beberapa tipologi kolonialisme yang pernah dipraktekkan di Indonesia.
Dimulai dengan politik kolonial portugis dan spanyol yang ditopang dengan sistem
perdagangan monopolistis, sehingga politik kolonial portugis dan spanyol
tersebut dapat dipandang memiliki karakter konservatif (kuno), kemudian diikuti
kolonial Belanda dengan praktek-praktek politiknya.
1.
Politik
Kolonial Konservatif dari Politik Dagang hingga Culturstelsel
Politik kolonial di Indonesia mengalami
perubahan pada waktu Inggris berhasil menguasai Indonesia, yakni pada tahun
1811-1816. Rafless
dikirim oleh pemerintah Inggris sebagai Letnan Gubernur di Indonesia. Ia adalah
seorang yang berpandangan liberal, ia menolak sistem VOC dengan segala
konsekuensinya. Rafless ingin mengahapus segala penyerahan wajib selama zaman
VOC dan dilanjutkan pemerintahan
Belanda, Rafless ingin memberikan suatu
kepastian hukum dan kebebasan dalam berusaha.
Pengembaian
Indonesia kepada Belanda oleh Inggris pada tahun 1816 menghadapkan pemerintah
Belanda pada situasi ekonomi yang genting, dengan kondisi negara diambang
kebangkrutan akibat peristiwa baik di Indonesia (Perang Padri dan Perang
Diponegoro) maupun akibat perang Belgia (1831). Akibatnya sistem yang
menjunjung tinggi kebebasan ekonomi ditolak oleh Van De Bosch. Dikenalkan
sebuah sistem yang dapat mendatangkan keuntungan dengan cara-cara yang lebih
sesuai dengan kebiasaan tradisional yaitu “Cultuurstelsel”.
2.
Politik
Kolonial Liberal
Pelaksanaan
cultuurstelsel
mendapat kritik dari kaum liberal, yang dikritik
bukan pemerasannya melainkan keresmiannya. Mereka mendesakkan tuntutannya
melalui Dewan Perwakilan dan berhasil sehingga sejak tahun 1870 tanaman wajib
dihapus, kecuali beberapa perkebunan kopi masih diteruskan. Baik partai liberal
maupun konservatif sepakat bahwa daerah jajahan harus membantu negara induk
dalam kesejahteraan materialnya.
Dalam
Undang-Undang Agraria tahun1870, suatu peraturan yang umumnya dianggap sebagai
dimulainya politik kolonial liberal di Hindia-Belanda. Berisi dua hal, yaitu
pengambilalihan tanah milik penduduk tidak diperbolehkan, dan orang
Asing boleh menyewa tanah untuk perkebunan.
Demikianlah
kaum liberal menentang dengan keras eksploitasi yang dijalankan oleh pemerintah
dan ingin menggantikannya dengan inisiatif swasta. Untuk itu kondisi ekonomis
perlu diciptakan, yaitu dengan memberikan kebebasan bekerja dan menggunakan
tanahnya.
3.
Politik
Etis
Pada
awal abad XX terjadi perkembangan baru dalam pelaksaan politik kolonial Belanda
di Indonesia. Garis politik baru itu berbeda dengan watak politik penghasilan
yang dilakukan sebelumnya. Politik ini berpedoman pada usaha peningkatan
kemajuan rakyat Indonesia. Oleh karena itu disebut “ethische politik” yang
artinya politik dengan haluan utama. Haluan politik ini kemudian dikenal dengan
sebutan “ politik balas budi” atau “ politik etis”.
Politik
etis dimulai pada tahun kedua dasawarsa
kedua mulai kabur dan pelaksanaannya diragukan. Perkembangan sosial
politik sejak Kebangunan Nasional dan pecahnya Perang Dunia 1 menimbulkan
situasi politik yang melemahkan tujuan seperti yang ada dalam politik etis.
Suatu
kenyataannya bahwa politik etis akhinya gagal. Tampak jelas pada tahun-tahun akhir
Perang Dunia 1 dimana-mana timbul kelaparan dan kemiskinan. Keadaan ekonomi
buruk terjadi keresahan sosial yamg semakin meluas, bertambah lagi adanya
krisik pabrik gula (1918), krisis ekonomi (1921), dan kenaikan pajak yang
dikenakan pada rakyat.
4. Politik Kolonial
Reaksioner
Kegagalan
politik etis menyebabkan perbedaan golongan Eropa dan pribumi sangat mencolok ,
perusahaan mengalami kemajuan pesat dan keuntungan berlipat ganda . jadi
semata-mata untuk kepentingan pengusaha
sendiri. Dalam menghadapi suasana yang penuh kegelisahan Gubernur Van Limburg
Stirum mengeluarkan janji pemerintah untuk mengadakan “komisi perubahan” yang
akan bertugas meninjau kembali kekuasaan volksraad
dan struktur administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Tetapi itu tidak lama
sebab digantikan oleh, Fock (1921-1926) berpandangan dan bertindak lain .
sebagi etikus Fock memerintah secara otokratis dan mengabaikan kekuatan rakyat
yang sedang berkembang.
Akibat
langsung dari politik Fock sejak 1922 ialah Radikalisasi pergerakan kebangsaan.
Dalam Dewan Rakyat muncul konsentrasi radikal dan gerakan nonkooperasi,
pergolakan di Hindia Belanda memuncak pada akhir 1926, hal itu menyebabkan
Gubernur Jendral De Graeff (1926-1931) sebgai pengganti Fock menjalankan
kebijakan yang keras dan bersifat
reaksioner.
B.
Nasionalisme
Dan Pergerakan Kebangsaan
Istilah nation atau bangsa dapat
bangsa dapat dikatakan sebagai suatu kata yang termasuk dalam kelompok seperi
ras, komunitas, orang, suku bangsa, clan, masyarakat, dan negara. Konsep
nasionalisme dalam pengertian modern
berasal dari dunia barat. Nasionalisme bangkit dalam abad ke-18 merupakan suatu
gerakan politik untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warga
negara.
Di Eropa Barat, nasionalisme
menjalankan peranan yang progresif karena ia menghancurkan feodalisme dan
menghancurkan sebuah konsep universalitas gereja, karena gereja sangat
bertalian dengan feodalisme.
Pergerakan kebangsaan Indonesia
yang muncul pada dekade pertama abad ke-20 merupakan suatu fenomena baru dalam
sejarah bangsa Indonesia. Pergerakan kebangsaan dapat dianggap sebagi lanjutan
perjuangan yang masih bersifat pra-nasional dalam menentang praktek-praktek
kolonialisme dan imoeralisme Belanda pada masa sebelumnya. Proses pencarian
bentuk pergerakan kebangsaan pada permulaan abad sesungguhnya tidak dapat
dilepaskan dari kondisi yang lahir akibat politik kolonial. Dengan
diterapkannya politik “balas budi “ yang
secara tidak langsung mendorong munculnya elit baru berpendidikan Barat yang
sadar akan nasib bangsanya akibat kolonialisme. Kemudian lahirlah organisasi-organisasi nasionalisme
seperti BudiUtomo (1980), Sarekat Islam, Indische
Partij, dan seterunsnya.
Secara umum nasionalisme Indonesia
memiliki dua dimensi, pertama dimensi
ekstern, dalam dimensi ini nasionalisme dihadapkan pada bangsa lain, sebagai
reaksi atau bentuk antitesis, khususnya pada kolonialisme dan imperalisme. Kedua dimensi intern, yang memandang
faham kebangsaan berkait erat dengan proses pembentukan kesadaran, sikap, orientasi, serta perasaan
keindonesiaan seseorang.
C.
Dimensi
Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme Indonesia lahir
sebagai reaksi terhadap kolonialisme Eropa. Karena kolonialisme itu mengandung
dimensi-dimensi dominasi politik, eksploitasi ekonomi,dan penetrasi kultural,
nasionalisme indonesia pun mempunyai tiga dimensi dalam rangka menumbangkan
dominasi politik kolonial. Tiga dimensi itu dimaksudkan untuk membangun negara
nasioal yang demokratismenghentikan eksploitasi ekonomi untuk membangun suatu
masyarakat yang berkeadilan sosial, dan menghentikan penetrasi kultural untuk
menhhidupkan kembali kepribadiannya.
Lahirnya organisasi-organisasi
pergerakan kebangsaan Indonesia merupakan reaksi logis dan realistis sebagai
antitesis terhadap ekstitensi kolonialisme dengan segala manifestasinya.
Sebagai bentuk antitesis (reaktif), maka konsep-konsep dan aktivitas
perjuangannya akan paralel dengan praktek-praktek kolonialisme dalam berbagi
dimensinya.terhadap akibat praktek kolonialisme itu, timbullah reaksi dari
bangsa Indonesia dalam bentuk pergerakan kebangsaan. Reaksi itu bergerak pula
dalam tiga lapangan yang sama yaitu politik, sosial ekonomi, dan budaya, tetapi
dengan tujuan yang berbeda. Akibat praktek kolonialisme bangsa Indonesia tidak
hanya kehilangan kemerdekaan politiknya, tidak hanya menderita dalam lapangan
sosial dan ekonominya berupa kemelaratan dan kesengsaraan, tetapi juga
mengalami terbongkarnya beberapa akar kulturalnya.
dikutip dari buku " Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia" karya : DRS. CAHYO BUDI UTOMO, M.Pd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar