Rabu, 19 Desember 2012

NASIONALISME DAN PERGERAKAN BANGSA INDONESIA


A.    KOLONIALISME BELANDA

karakter kolonialisme spanyol-portugis berbeda dengan karakter kolonialisme Belanda, Inggris, Perancis. Hal ini karena kapitalisme yang melahirkan politik-politik kolonial tersebut di atas berbeda baik kelahiran maupun wataknya.
Dari sejarah perkembangan indonesia, terdapat beberapa tipologi kolonialisme yang pernah dipraktekkan di Indonesia. Dimulai dengan politik kolonial portugis dan spanyol yang ditopang dengan sistem perdagangan monopolistis, sehingga politik kolonial portugis dan spanyol tersebut dapat dipandang memiliki karakter konservatif (kuno), kemudian diikuti kolonial Belanda dengan praktek-praktek politiknya.

1.     Politik Kolonial Konservatif dari Politik Dagang hingga Culturstelsel
Politik kolonial di Indonesia mengalami perubahan pada waktu Inggris berhasil menguasai Indonesia, yakni pada tahun 1811-1816. Rafless dikirim oleh pemerintah Inggris sebagai Letnan Gubernur di Indonesia. Ia adalah seorang yang berpandangan liberal, ia menolak sistem VOC dengan segala konsekuensinya. Rafless ingin mengahapus segala penyerahan wajib selama zaman VOC dan dilanjutkan  pemerintahan Belanda,  Rafless ingin memberikan suatu kepastian hukum dan kebebasan dalam berusaha.
                        Pengembaian Indonesia kepada Belanda oleh Inggris pada tahun 1816 menghadapkan pemerintah Belanda pada situasi ekonomi yang genting, dengan kondisi negara diambang kebangkrutan akibat peristiwa baik di Indonesia (Perang Padri dan Perang Diponegoro) maupun akibat perang Belgia (1831). Akibatnya sistem yang menjunjung tinggi kebebasan ekonomi ditolak oleh Van De Bosch. Dikenalkan sebuah sistem yang dapat mendatangkan keuntungan dengan cara-cara yang lebih sesuai dengan kebiasaan tradisional yaitu “Cultuurstelsel”. 

2.     Politik Kolonial Liberal
Pelaksanaan cultuurstelsel mendapat kritik dari kaum liberal, yang dikritik bukan pemerasannya melainkan keresmiannya. Mereka mendesakkan tuntutannya melalui Dewan Perwakilan dan berhasil sehingga sejak tahun 1870 tanaman wajib dihapus, kecuali beberapa perkebunan kopi masih diteruskan. Baik partai liberal maupun konservatif sepakat bahwa daerah jajahan harus membantu negara induk dalam kesejahteraan materialnya.
Dalam Undang-Undang Agraria tahun1870, suatu peraturan yang umumnya dianggap sebagai dimulainya politik kolonial liberal di Hindia-Belanda. Berisi dua hal, yaitu pengambilalihan  tanah  milik penduduk tidak diperbolehkan, dan orang Asing boleh menyewa tanah untuk perkebunan.
Demikianlah kaum liberal menentang dengan keras eksploitasi yang dijalankan oleh pemerintah dan ingin menggantikannya dengan inisiatif swasta. Untuk itu kondisi ekonomis perlu diciptakan, yaitu dengan memberikan kebebasan bekerja dan menggunakan tanahnya.

3.     Politik Etis
Pada awal abad XX terjadi perkembangan baru dalam pelaksaan politik kolonial Belanda di Indonesia. Garis politik baru itu berbeda dengan watak politik penghasilan yang dilakukan sebelumnya. Politik ini berpedoman pada usaha peningkatan kemajuan rakyat Indonesia. Oleh karena itu disebut “ethische politik” yang artinya politik dengan haluan utama. Haluan politik ini kemudian dikenal dengan sebutan “ politik balas budi” atau “ politik etis”.
Politik etis dimulai pada tahun kedua dasawarsa  kedua mulai kabur dan pelaksanaannya diragukan. Perkembangan sosial politik sejak Kebangunan Nasional dan pecahnya Perang Dunia 1 menimbulkan situasi politik yang melemahkan tujuan seperti yang ada dalam politik etis.
Suatu kenyataannya bahwa politik etis akhinya gagal. Tampak jelas pada tahun-tahun akhir Perang Dunia 1 dimana-mana timbul kelaparan dan kemiskinan. Keadaan ekonomi buruk terjadi keresahan sosial yamg semakin meluas, bertambah lagi adanya krisik pabrik gula (1918), krisis ekonomi (1921), dan kenaikan pajak yang dikenakan pada rakyat.

4.     Politik Kolonial Reaksioner
Kegagalan politik etis menyebabkan perbedaan golongan Eropa dan pribumi sangat mencolok , perusahaan mengalami kemajuan pesat dan keuntungan berlipat ganda . jadi semata-mata untuk kepentingan  pengusaha sendiri. Dalam menghadapi suasana yang penuh kegelisahan Gubernur Van Limburg Stirum mengeluarkan janji pemerintah untuk mengadakan “komisi perubahan” yang akan bertugas meninjau kembali kekuasaan volksraad dan struktur administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Tetapi itu tidak lama sebab digantikan oleh, Fock (1921-1926) berpandangan dan bertindak lain . sebagi etikus Fock memerintah secara otokratis dan mengabaikan kekuatan rakyat yang sedang berkembang.
Akibat langsung dari politik Fock sejak 1922 ialah Radikalisasi pergerakan kebangsaan. Dalam Dewan Rakyat muncul konsentrasi radikal dan gerakan nonkooperasi, pergolakan di Hindia Belanda memuncak pada akhir 1926, hal itu menyebabkan Gubernur Jendral De Graeff (1926-1931) sebgai pengganti Fock menjalankan kebijakan yang  keras dan bersifat reaksioner.
     
B.    Nasionalisme Dan Pergerakan Kebangsaan
Istilah nation atau  bangsa dapat bangsa dapat dikatakan sebagai suatu kata yang termasuk dalam kelompok seperi ras, komunitas, orang, suku bangsa, clan, masyarakat, dan negara. Konsep nasionalisme dalam  pengertian modern berasal dari dunia barat. Nasionalisme bangkit dalam abad ke-18 merupakan suatu gerakan politik untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warga negara.
Di Eropa Barat, nasionalisme menjalankan peranan yang progresif karena ia menghancurkan feodalisme dan menghancurkan sebuah konsep universalitas gereja, karena gereja sangat bertalian dengan feodalisme.
Pergerakan kebangsaan Indonesia yang muncul pada dekade pertama abad ke-20 merupakan suatu fenomena baru dalam sejarah bangsa Indonesia. Pergerakan kebangsaan dapat dianggap sebagi lanjutan perjuangan yang masih bersifat pra-nasional dalam menentang praktek-praktek kolonialisme dan imoeralisme Belanda pada masa sebelumnya. Proses pencarian bentuk pergerakan kebangsaan pada permulaan abad sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang lahir akibat politik kolonial. Dengan diterapkannya politik “balas budi “  yang secara tidak langsung mendorong munculnya elit baru berpendidikan Barat yang sadar akan nasib bangsanya akibat kolonialisme. Kemudian  lahirlah organisasi-organisasi nasionalisme seperti BudiUtomo (1980), Sarekat Islam, Indische Partij, dan seterunsnya.
Secara umum nasionalisme Indonesia memiliki dua dimensi, pertama dimensi ekstern, dalam dimensi ini nasionalisme dihadapkan pada bangsa lain, sebagai reaksi atau bentuk antitesis, khususnya pada kolonialisme dan imperalisme. Kedua dimensi intern, yang memandang faham kebangsaan berkait erat dengan proses pembentukan  kesadaran, sikap, orientasi, serta perasaan keindonesiaan seseorang. 

C.    Dimensi Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme Indonesia lahir sebagai reaksi terhadap kolonialisme Eropa. Karena kolonialisme itu mengandung dimensi-dimensi dominasi politik, eksploitasi ekonomi,dan penetrasi kultural, nasionalisme indonesia pun mempunyai tiga dimensi dalam rangka menumbangkan dominasi politik kolonial. Tiga dimensi itu dimaksudkan untuk membangun negara nasioal yang demokratismenghentikan eksploitasi ekonomi untuk membangun suatu masyarakat yang berkeadilan sosial, dan menghentikan penetrasi kultural untuk menhhidupkan kembali  kepribadiannya.
Lahirnya organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia merupakan reaksi logis dan realistis sebagai antitesis terhadap ekstitensi kolonialisme dengan segala manifestasinya. Sebagai bentuk antitesis (reaktif), maka konsep-konsep dan aktivitas perjuangannya akan paralel dengan praktek-praktek kolonialisme dalam berbagi dimensinya.terhadap akibat praktek kolonialisme itu, timbullah reaksi dari bangsa Indonesia dalam bentuk pergerakan kebangsaan. Reaksi itu bergerak pula dalam tiga lapangan yang sama yaitu politik, sosial ekonomi, dan budaya, tetapi dengan tujuan yang berbeda. Akibat praktek kolonialisme bangsa Indonesia tidak hanya kehilangan kemerdekaan politiknya, tidak hanya menderita dalam lapangan sosial dan ekonominya berupa kemelaratan dan kesengsaraan, tetapi juga mengalami terbongkarnya beberapa akar kulturalnya.

dikutip dari buku " Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia" karya :  DRS. CAHYO BUDI UTOMO, M.Pd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar